Tempo.co., Jakarta – Rencana amandemen UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang dikemukakan Presiden Joko Widodo pupus. Jangan jatuh dua kali untuk pukulan yang sama.
Ada dua alasan mengapa rencana amandemen UU Informasi dan Komunikasi Elektronik (IDE) yang diajukan Presiden Joko Widodo diakhiri dengan reaksi keras. Pertama, wakil pejabat presiden tidak mau mengikuti preferensi atasan mereka. Kedua, Presiden tidak terlalu ingin mengubah undang-undang yang mengakibatkan banyak korban. Kemungkinan pertama, alih-alih mengikuti saran presiden dengan membuat dokumen akademik, wakilnya mengubahnya menjadi sekadar menjelaskan masalah. Kesempatan kedua bahkan lebih buruk. Seperti dicatat dalam laporan Economic Intelligence Unit pada awal Februari, presiden hanya basa-basi untuk menutupi demokrasi Indonesia yang buruk.
Usai Djokovic membeberkan usulan amandemen UU tersebut dalam pertemuan dengan TNI dan pimpinan Polri pada awal Februari lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyambut baik usulan tersebut dengan membentuk IDE Law Enforcement Steering Committee untuk menyiapkan pejabat. Interpretasi hukum. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan kemudian membentuk kelompok belajar untuk bekerja selama tiga bulan dan melaporkan hasil pembahasannya kepada Menteri Koordinator Mahboot MD.
Banyak penjelasan dalam pedoman yang diberikan oleh kementerian yang baik tidak akan menghentikan penggunaan pasal-pasal undang-undang ini. Cukuplah disimpulkan bahwa daftar panjang korban undang-undang ini dan lapisan opini hukum tentang kerugiannya harus diubah.
Keadilan tidak akan dilayani oleh Surat Edaran Kapolri untuk menyeleksi aparat penegak hukum dalam penerapan UU ITE. Surat edaran ini antara lain menyatakan bahwa undang-undang tidak berlaku jika penggugat dan tergugat ingin mencapai penyelesaian.
Sejak awal, yang mendasarinya adalah aturan-aturan katekismus dalam IDE Act, yakni Pasal 27 ayat 3 dan pasal pencemaran nama baik 28 ayat 2. Jangan heran, banyak lagi yang akan menjadi korban sampai pasal-pasal tersebut dihapus.
Kebingungan dari undang-undang ini harus diingat tidak hanya karena anggota file publik melaporkan satu sama lain, tetapi juga karena pemerintah menggunakannya. Fitnah dan hasutan untuk ujaran kebencian seringkali digunakan dalam praktik untuk membungkam suara-suara yang tidak setuju, termasuk mereka yang mengkritik pemerintah.
Undang-undang IDE telah menjadi alat untuk mengontrol opini otoritas. Masyarakat harus waspada dengan segala upaya serius pemerintah untuk mengubah undang-undang berbahaya ini. Jangan lupa, ‘tipu muslihat’ semacam ini digunakan ketika pemerintah berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah alih-alih undang-undang untuk membenahi undang-undang antikorupsi yang menghancurkan lembaga antikorupsi. Publik seharusnya tidak jatuh pada trik yang sama dua kali.
Baca kisah lengkapnya di Cuaca Inggris Majalah